Deskripsi
Masalah
Diantara daftar Program Legislasi Nasional
(PROLEGNAS) tahun 2010 ini, Kementerian Agama berencana mengesahkan Rancangan
Undang Undang (RUU) Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan yang
meliputi ketentuan nikah sirri (perkawinan di bawah tangan), nikah mut’ah
(kawin kontrak), poligami dan thalaq (cerai). Beberapa pasal dalam draft RUU
tersebut juga memuat ketentuan pidana kurungan mulai 6 bulan hingga 3 tahun,
serta denda mulai Rp 6 juta hingga Rp 12 juta misalnya pada:
ü Pasal 143 Setiap orang yang dengan sengaja melangsungkan
perkawinan tidak di hadapan pejabat pencatat nikah sebagaimana dimaksud dalam
pasal 5 ayat 1 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp 6 juta (enam juta
rupiah) atau hukuman kurungan paling lama 6 (enam) bulan;
ü Pasal 144 Setiap orang yang melakukan perkawinan mutah
sebagaimana dimaksud pasal 39 dihukum dengan penjara selama-lamanya 3 (tiga)
tahun dan perkawinannya batal karena hukum;
ü Pasal 145 Setiap orang yang melangsungkan perkawinan dengan
istri kedua, ketiga atau keempat tanpa mendapat izin terlebih dahulu dari
pengadilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 52 ayat (1) dipidana dengan pidana
denda paling banyak Rp 6 juta (enam juta rupiah) atau hukuman kurungan paling
lama 6 (enam) bulan;
ü Pasal 146 Setiap orang yang menceraikan istrinya tidak di
depan sidang pengadilan sebagaimana dalam pasal 119 dipidana dengan pidana
denda paling banyak Rp 6 juta (enam juta rupiah) atau hukuman kurungan paling
lama 6 (enam) bulan;
ü Pasal 147 Setiap orang yang melakukan perzinaan dengan
seorang perempuan yang belum kawin sehingga menyebabkan perempuan tersebut
hamil sedang ia menolak mengawininya dipidana dengan pidana penjara paling lama
3 (tiga) bulan.
Menurut
RUU tersebut, perkawinan yang tidak dilangsungkan di hadapan pejabat pencatat nikah
tidak memiliki kekuatan hukum sebagaimana tertuang dalam pasal-pasal berikut :
ü Pasal 4 Setiap perkawinan wajib dicatat oleh pejabat
pencatat nikah menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
ü Pasal 5 (1) Untuk memenuhi ketentuan pasal 4 setiap perkawinan
wajib dilangsungkan di hadapan pejabat pencatat nikah.
ü Pasal 5 (2) Perkawinan yang tidak dilakukan sesuai dengan
ketentuan ayat (1) tidak mempunyai kekuatan hukum.
Hal
ini sesuai dengan yang tertuang dalam KHI (kompilasi Hukum Islam) Pasal 5-6 sebagai berikut :
ü Pasal 5 (1) Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat
Islam setiap perkawinan harus dicatat.
ü Pasal 5 (2) Pencatatan perkawinan tersebut apada ayat (1), dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana
yang diatur dalam Undang-undang No.22 Tahun 1946 jo Undang-undang No. 32 Tahun
1954.
ü Pasal 6 (1) Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan
di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah.
ü Pasal 6 (2) Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan
Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan Hukum.
Draft
RUU tersebut dimaksudkan sebagai wujud perlindungan akibat buruk pada
pihak-pihak yang menjadi korban. Misalnya nikah sirri, kawin kontrak dan
poligami dipandang banyak merugikan perempuan dan sering disalahgunakan menjadi
perzinaaan terselubung yang dimanfaatkan sebagai media singgahan pemuasan dan
pelampiasan seks tanpa tanggung jawab yang berakibat istri dan anak-anak
terlantar, tidak ada pengakuan dari istri pertama dll. RUU ini juga diharapkan
akan mempermudah istri atau anak memperoleh haknya secara hukum positif seperti
hak warisan, hak perwalian,tunjangan kesehatan, pembuatan KTP atau paspor dll.
Kendati demikian, khusus RUU nikah sirri dan
poligami tersebut mendapat respon penolakan keras dari belbagai kalangan karena
di samping dinilai menyudutkan dan mempersulit amaliah umat Islam, RUU tersebut
juga dikhawatirkan justru akan mengobsesi seseorang memilih melakukan zina
ketimbang harus menikah. Lebih dari itu, pemidanaan dengan denda dan atau
hukuman penjara terhadap perkawinan tanpa dokumentasi itu dinilai berlebihan,
karena praktek nikah sirri sebenarnya hanya merupakan pelanggaran administratif
keperdataan, yaitu melanggar pasal 2 UU 1/1974 tentang perkawinan, bukan bentuk
pelanggaran pidana sehingga tidak proporsional jika harus dikriminalisasi.
Pertanyaan
a. Dengan
pertimbangan-pertimbangan di atas, dapatkah dibenarkan pemberlakuan pasal nikah
sirri dan poligami di atas?
b. Bagaimana hukum pemidanaan
pelanggaran UU nikah sirri dan poligami di atas?
c. Jika pemerintah benar-benar
memberlakukan, bagaimana konsekuensi hukum perkawinan atau perceraian yang
melanggar pasal nikah sirri dan poligami di atas?
Sail
: PP. Langitan & Panitia
Jawaban
a. UU Perkawinan sesuai yang tertuang
dalam KHI yang membatasi pernikahan siri dengan tidak mengesahkannya tidak
dapat dibenarkan karena menganggap batal pernikahan yang sudah sah sesuai
syara'.
b. Gugur
c. Gugur
REFERENSI
|
1.
Al Fiqh al
Islami, vol. 9 hal. 6674
2.
Bughyah al Mustarsyidin hal. 271
|
3.
At Tasyri'
al Jana'i, vol. 1, hal. 254
4.
Al Fiqh al
Islami, vol. 9 hal. 339
|
1. الفقه
الإسلامي الجزء التاسع صـ 6674
الدعوة إلى جعل تعدد الزوجات بإذن
القاضي ظهرت دعوات جديدة في عصرنا تمنع تعدد الزوجات إلا بإذن القاضي ليتأكد من
تحقق ما شرطه الشرع لإباحة التعدد، وهو العدل بين الزوجات والقدرة على الإنفاق لأن
الناس وخصوصاً الجهلة أساؤوا استعمال رخصة التعدد المأذون بها شرعاً لغايات
إنسانية كريمة لكن تولى المخلصون دحض مثل هذه الدعوات لأسباب معقولة هي ما يأتي
(1) 1- إن الله سبحانه وتعالى أناط بالراغب في الزواج وحده تحقيق شرطي التعدد، فهو
الذي يقدر الخوف من عدم العدل، لقوله تعالى: {فإن خفتم ألا تعدلوا، فواحدة}
[النساء:3/4] فإن الخطاب فيه لنفس الراغب في الزواج، لا لأحد سواه، من قاض أوغيره،
فيكون تقدير مثل هذا الخوف من قبل غير الزوج مخالفاً لهذا النص. وكذلك البحث في
توافر القدرة على الإنفاق، فإنه منوط بالراغب في الزواج، لقوله ﷺ
«يا معشر الشباب من استطاع منكم الباءة فليتزوج..» فهو خطاب للأزواج، لا لغيرهم. 2
- إن إشراف القاضي على الأمور الشخصية أمر عبث، إذ قد لا يطلع على السبب
الحقيقي، ويخفي الناس عادة عنه ذلك السبب فإن اطلع على الحقائق كان اطلاعه فضحاً
لأسرار الحياة الزوجية، وتدخلاً في حريات الناس، وإهداراً لإرادة الإنسان، وخوضاً
في قضايا ينبغي توفير وقت القضاة لغيرها، ومنعاً وأمراً في غير محله، فالزواج أمر
شخصي بحت، يتفق فيه الزوجان مع أولياء المرأة، لا يستطيع أحد تغيير وجهته، وتبديل
قيمه. وإن أسرار البيت المغلقة لا يعلم بها أحد غير الزوجين.
2. بغية
المسترشدين صـ 271 دار الفكر
فائدة حكم العرف والعادة حكم منكر
ومعارضة لأحكام الله ورسوله وهو من بقايا الجاهلية في كفرهم بما جاء به نبينا محمد
عليه الصلاة والسلام بإبطاله فمن استحله من المسلمين مع العلم بتحريمه حكم بكفره
وارتداده واستحق الخلود في النار نعوذ بالله من ذلك اهـ فتاوى بامخرمة. ومنها يجب
أن تكون الأحكام كلها بوجه الشرع الشريف وأما أحكام السياسة فما هي إلا ظنون
وأوهام فكم فيها من مأخوذ بغير جناية وذلك حرام وأما أحكام العادة والعرف فقد مرّ
كفر مستحله ولو كان في موضع من يعرف الشرع لم يجز له أن يحكم أو يفتي بغير مقتضاه فلو
طلب أن يحضر عند حاكم يحكم بغير الشرع لم يجز له الحضور هناك بل يأثم بحضوره اهـ.
3. التشريع
الجنائي في الإسلام الجزء الأول صـ 254
إن أولي الأمر بحسب نصوص الشريعة
الإسلامية ليس لهم حق التشريع المطلق للأسباب التي بيناها: وإن حقهم في التشريع قاصر
على نوعين من التشريع الأول تشريعات تنفيذية يقصد بها ضمان تنفيذ نصوص الشريعة
الإسلامية. والثاني: تشريعات تنظيمية لتنظيم الجماعة وحمايتها وسد حاجاتها على
أساس مبادئ الشريعة العامة. وهذه التشريعات لا تكون إلا فيما سكتت عنه الشريعة فلم
تأت بنصوص خاصة فيه ولا يمكن أن تكون فيما نصت عليه الشريعة، ويشترط في هذه
التشريعات قبل كل شئ أن تكون متفقة مع مبادئ الشريعة العامة وروحها التشريعية، فهي
تشريعات توضع بقصد تنفيذ مبادئ الشريعة العامة، وإذن فهي في حقيقتها نوع آخر من
التشريعات التنفيذية.
4. الفقه الإسلامي وأدلته الجزء التاسع صـ 339
وليست الدعوة المعاصرة إلى جعل الطلاق بيد القاضي ذات
فائدة؛ لمصادمة المقرر شرعاً، ولأن الرجل يعتقد ديانة أن الحق له، فإذا أوقع
الطلاق، حدثت الحرمة دون انتظار حكم القاضي. وليس ذلك في مصلحة المرأة نفسها؛ لأن
الطلاق قد يكون لأسباب سرية ليس من الخير إعلانها، فإذا أصبح الطلاق بيد القاضي
انكشفت أسرار الحياة الزوجية بنشر الحكم، وتسجيل أسبابه في سجلات القضاء، وقد يعسر
إثبات الأسباب لنفور طبيعي وتباين أخلاقي